Januari 2002, saya memulai Long Distance Relationship (LDR) dengan kekasih saya. Saya di Indonesia, dia merantau ke Malaysia. "Aku ingin membahagiakanmu", begitu janjinya yang membuat hati saya tersentuh dan dengan berat mengijinkannya pergi ke Malaysia.
Waktu itu, HP masih jadi barang langka di kampung saya. Dia disana juga belum pegang HP karena belum punya uang untuk membeli. Yang ada hanya telpon milik tetangga dan wartel yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Menunggu dan menahan rindu, hanya itu yang bisa saya lakukan setelah kepergiannya ke Malaysia.
Sampai akhirnya tetangga datang "Tarry, ada telpon buat kamu dari Malaysia. Tapi ga jelas, agak putus-putus". Deg, tiba-tiba jantung saya berdegup lebih kencang sampai membuat saya gugup campur seneng.
Sayapun segera pergi ke rumah tetangga dan menunggu dia telpon lagi. Tak lama saya menunggu, telpon berdering "Lha itu telpon lagi, angkat saja" kata tetangga. Sayapun mengangkat gagang telpon dengan sedikit gemetar.
"Hallo", terdengar suaranya dari seberang sana. Keringat dingin ikut-ikutan keluar setelah tahu kalau yang ada di seberang sana itu adalah dia. Maklum, waktu itu pertamanya saya mendengar suara dia lewat telpon. Jadi agak grogi gitu. Tapi setelah mendengar suaranya dan mengetahui kabarnya, hati jadi tenang, kekhawatiran sedikit berkurang dan rasa rindu juga terobati.
Di awal kami menjalani LDR, terasa sangat berat sekali. Kami yang biasanya bisa ketemu kapan saja, karena rumah kami lumayan dekat tiba-tiba harus terpisah jauh. Jangankan bertemu, untuk mendengar suaranya saja harus menunggu ada uang buat beli kartu telpon.
Tapi lama-kelamaan kami sudah biasa menjalaninya. Apalagi setelah dia punya HP, saya tidak harus menunggu dia telpon, tapi kadang-kadang saya pergi ke wartel untuk menelponnya. Yach.... meskipun waktu itu biaya telpon ke luar negeri lumayan mahal , tetap saja saya terjang. Yang penting komunikasi tetap terjaga.
Sampai akhirnya saya pergi ke Hong Kong dan hubungan kami agak renggang karena saya belum punya HP. Tapi keadaan berubah, ketika saya memberanikan diri mengangkat telpon rumah milik majikan untuk menelpon dia. Dengan memakai kartu telpon, saya bisa telpon ke luar negeri lewat telpon rumah majikan.
Awalnya sich aman-aman saja, tapi lama kelamaan ketahuan dan kena marah majikan. Pas saya pakai telpon, pas majikan juga telpon. Kebetulan telpon rumah ndak ada call waitingnya jadi ketahuan dech kalau saya pakai, dan itu terjadi beberapa kali. :).
Karena pakai telpon rumah milik majikan tidak aman, saya pun beralih ke telpon umum. Tetap pakai kartu telpon, tapi harus memasukkan koin. Waktu itu $1 untuk 5 menit. Kebetulan saya merawat 2 anak sekolah, jadi saya bisa keluar rumah beberapa kali untuk mengantar, menjemput dan mengirim makanan untuk mereka. Kalau pingin telpon dia, saya bisa berangkat lebih awal.
Tapi lagi-lagi ketahuan majikan, "jam 11 aku telpon kamu kok ndak ada yang angkat? kemana kamu?". Kemarahan majikanpun meledak ketika saya mengakui kesalahan saya. Maklum, majikan saya waktu itu super galak, saya menyebutnya Mak Lampir. :)
Sampai akhirnya saya punya HP sendiri setelah potongan gaji selesai. Komunikasi dengan dia menjadi lancar. Kapan saja pingin telpon atau smsan bisa, untuk melepas kerinduan, marah-marahan dan curhat-curhatan.
Menyemai cinta lewat kabel telpon, begitulah cara kami untuk mempertahankan cinta. Sehingga cinta kami semakin tumbuh dan berkembang dengan indahnya. Meskipun banyak rintangan dan godaan, alhamdulillah kami mampu bertahan sampai ke pelaminan.
26 Juni 2008, kami resmi menjadi suami istri. Tapi setelah menikah kami harus terpisah lagi karena saya harus kembali ke Hong Kong. Lagi-lagi kami hanya bisa menjalin komunikasi lewat telpon. Sampai akhirnya, 11 nopember 2011 lalu, kami mengakhiri LDR kami dan hidup bersama di kampung halaman. Dan sekarang buah cinta telah hadir di tengah-tengah kami yang menambah kebahagiaan keluarga kecil kami. Alhamdulillah.... semoga kami mampu menggapai sakinah mawadah warohmah. Amin.
Sayapun segera pergi ke rumah tetangga dan menunggu dia telpon lagi. Tak lama saya menunggu, telpon berdering "Lha itu telpon lagi, angkat saja" kata tetangga. Sayapun mengangkat gagang telpon dengan sedikit gemetar.
"Hallo", terdengar suaranya dari seberang sana. Keringat dingin ikut-ikutan keluar setelah tahu kalau yang ada di seberang sana itu adalah dia. Maklum, waktu itu pertamanya saya mendengar suara dia lewat telpon. Jadi agak grogi gitu. Tapi setelah mendengar suaranya dan mengetahui kabarnya, hati jadi tenang, kekhawatiran sedikit berkurang dan rasa rindu juga terobati.
Di awal kami menjalani LDR, terasa sangat berat sekali. Kami yang biasanya bisa ketemu kapan saja, karena rumah kami lumayan dekat tiba-tiba harus terpisah jauh. Jangankan bertemu, untuk mendengar suaranya saja harus menunggu ada uang buat beli kartu telpon.
Tapi lama-kelamaan kami sudah biasa menjalaninya. Apalagi setelah dia punya HP, saya tidak harus menunggu dia telpon, tapi kadang-kadang saya pergi ke wartel untuk menelponnya. Yach.... meskipun waktu itu biaya telpon ke luar negeri lumayan mahal , tetap saja saya terjang. Yang penting komunikasi tetap terjaga.
Sampai akhirnya saya pergi ke Hong Kong dan hubungan kami agak renggang karena saya belum punya HP. Tapi keadaan berubah, ketika saya memberanikan diri mengangkat telpon rumah milik majikan untuk menelpon dia. Dengan memakai kartu telpon, saya bisa telpon ke luar negeri lewat telpon rumah majikan.
Awalnya sich aman-aman saja, tapi lama kelamaan ketahuan dan kena marah majikan. Pas saya pakai telpon, pas majikan juga telpon. Kebetulan telpon rumah ndak ada call waitingnya jadi ketahuan dech kalau saya pakai, dan itu terjadi beberapa kali. :).
Karena pakai telpon rumah milik majikan tidak aman, saya pun beralih ke telpon umum. Tetap pakai kartu telpon, tapi harus memasukkan koin. Waktu itu $1 untuk 5 menit. Kebetulan saya merawat 2 anak sekolah, jadi saya bisa keluar rumah beberapa kali untuk mengantar, menjemput dan mengirim makanan untuk mereka. Kalau pingin telpon dia, saya bisa berangkat lebih awal.
Tapi lagi-lagi ketahuan majikan, "jam 11 aku telpon kamu kok ndak ada yang angkat? kemana kamu?". Kemarahan majikanpun meledak ketika saya mengakui kesalahan saya. Maklum, majikan saya waktu itu super galak, saya menyebutnya Mak Lampir. :)
Sampai akhirnya saya punya HP sendiri setelah potongan gaji selesai. Komunikasi dengan dia menjadi lancar. Kapan saja pingin telpon atau smsan bisa, untuk melepas kerinduan, marah-marahan dan curhat-curhatan.
Menyemai cinta lewat kabel telpon, begitulah cara kami untuk mempertahankan cinta. Sehingga cinta kami semakin tumbuh dan berkembang dengan indahnya. Meskipun banyak rintangan dan godaan, alhamdulillah kami mampu bertahan sampai ke pelaminan.
Dulu berdua, sekarang bertiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar