Malam itu 16 Desember 2011, saya menunggu suami pulang dengan gelisah. Waktu itu, suami pergi ke Nganjuk untuk mengambil mobil pick up second yang baru kami beli. Saya sedikit was-was karena suami belum pernah nyetir mobil di Indonesia. Memang suami bisa nyetir truck tapi itu di Taiwan dengan setir sebelah kiri. Sedangkan di Indonesia setirnya khan sebelah kanan. Saya takut suami belum terbiasa, apalagi waktu itu cuacanya lagi hujan.
Beberapa kali saya menghubunginya, untuk memastikan suami baik-baik saja. Sampai akhirnya sekitar jam 10 malam, ada suara mobil datang. Saya langsung lari keluar untuk menyambut suami. Saya lega begitu melihat suami pulang dengan selamat tapi saat melihat mobil yang baru kami beli, saya sedikit kecewa. "Hah, mobilnya kayak gini ya mas?, mahal juga ya?, kata saya.
Beberapa kali saya menghubunginya, untuk memastikan suami baik-baik saja. Sampai akhirnya sekitar jam 10 malam, ada suara mobil datang. Saya langsung lari keluar untuk menyambut suami. Saya lega begitu melihat suami pulang dengan selamat tapi saat melihat mobil yang baru kami beli, saya sedikit kecewa. "Hah, mobilnya kayak gini ya mas?, mahal juga ya?, kata saya.
Kalau kata suami dan orang-orang, mobil solar dengan harga segitu sudah termasuk murah. Kalau belinya di Madiun bisa lebih mahal 3-5 jutaan. Tapi tetap saja ada rasa sedikit kecewa dalam hati saya. Karena untuk membawa pulang mobil itu, kami harus mengeluarkan separuh lebih tabungan hasil kerja keras kami di luar negeri.
Rasa kecewa saya semakin bertambah ketika kami harus mengeluarkan biaya tambahan untuk service ini itu. "Yach, namanya juga barang second dek", jawab suami kalau saya ngomel masalah duit. Maklum, waktu itu kami masih memulai babak baru dalam kehidupan kami. Jadi pedagang kecil-kecilan yang belum punya banyak pelanggan. Sehingga kami harus mengambil uang tabungan untuk biaya service.
Tapi seiring berjalannya sang waktu, mobil tersebut bisa untuk mencari rejeki suami. Selain jaga toko bersama saya, suami juga punya kesibukan angkut-angkut barang. Kadang pasir, batu bata, kalau panen ya angkut padi, dll. Kebetulan suami juga punya partner toko bangunan, perusahaan beton, dan perusahaan kayu. Kalau mereka membutuhkan, tinggal telpon saja. Alhamdulillah, suami tidak pernah malu untuk melakukan pekerjaan serabutan tersebut. "Ya namanya juga hidup di kampung, kalau tidak begini mau kerja apa?", kata suami.
Tak terasa, sudah setahun kami memiliki mobil itu. Rasa kecewa yang tercipta saat pandangan pertama, kini berubah jadi rasa syukur yang tiada tara. Karena saya tak lagi memandang mobil tetangga yang bermerk panther atau Avanza. Tapi saya lebih sering memandang mobil teman yang kondisinya lebih jelek dari milik kami. Agar kami selalu bersyukur dengan apa yang kami miliki. :)
Rasa kecewa saya semakin bertambah ketika kami harus mengeluarkan biaya tambahan untuk service ini itu. "Yach, namanya juga barang second dek", jawab suami kalau saya ngomel masalah duit. Maklum, waktu itu kami masih memulai babak baru dalam kehidupan kami. Jadi pedagang kecil-kecilan yang belum punya banyak pelanggan. Sehingga kami harus mengambil uang tabungan untuk biaya service.
Tapi seiring berjalannya sang waktu, mobil tersebut bisa untuk mencari rejeki suami. Selain jaga toko bersama saya, suami juga punya kesibukan angkut-angkut barang. Kadang pasir, batu bata, kalau panen ya angkut padi, dll. Kebetulan suami juga punya partner toko bangunan, perusahaan beton, dan perusahaan kayu. Kalau mereka membutuhkan, tinggal telpon saja. Alhamdulillah, suami tidak pernah malu untuk melakukan pekerjaan serabutan tersebut. "Ya namanya juga hidup di kampung, kalau tidak begini mau kerja apa?", kata suami.
"Biar hanya mobil gerobak, yang penting milik sendiri", kata suami. Dan sekarang sudah ber plat AE atas nama suami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar