Selasa, 25 Oktober 2011

Lidah Tak Bertulang

Postingan kemarin yang berjudul Ketika "Cerai" Menjadi Pilihan, ada yang bertanya "itu kisah nyata ya??? Itu majikannya mbak Tarry ya??". Iya, itu kisah nyata dan saya jadi saksi bisunya. Saya hanya ngumpet di dalam kamar dan tidak berani keluar. Karena saya sadar siapa saya,  yang tidak punya hak mencampuri urusan mereka.


Bukan bermaksud membuka aib, tapi hanya ingin mencatat sebagai pengingat diri. Agar hati-hati dalam setiap ucapan.  "Lidah tak bertulang tapi tajamnya melebihi pedang". Luka ditangan karena pedang, suatu hari akan sembuh. Tapi kalau luka dihati karena ucapan??? rasanya sulit untuk menyembuhkannya. So, harus hati-hati dalam berucap meskipun emosi sedang menguasai hati. 

Dan aku tak pernah menyangka kalau seseorang yang terluka hatinya bisa berbuat nekad, sampai-sampai ingin mengakhiri hidupnya. Malam kemarin, adalah malam yang paling menegangkan buatku. Aku sendirian harus menghadapi orang mabuk yang tak ingin hidup lagi. Bagaimanapun juga, wanita yang nampak tegar di depan orang yang melukainya itu, hanyalah seorang wanita lemah yang bisa menangis.

Dan anehnya..... disaat kritis seperti itu, bukan suaminya yang aku telpon. Tapi malah temannya yang aku telpon dan kuminta datang. Aku takut, aku gugup, aku ikut menangis bersamanya. "Tarry, suamiku sudah ga mau sama aku, aku ga punya apa-apa lagi, aku ga mau hidup, percuma aku hidup". Kata-kata itu puluhan kali diucapkan disela-sela tangisnya. Aku memeluknya, "Kamu ga punya suami, kamu masih punya anak. Kalau kamu mati, anakmu bagaimana??? Kamu belum melihat keberhasilannya".

Dia kalap, HP nya dibanting dan aku berusaha menyatukannya lagi. Masih bisa hidup, tapi dia banting lagi sampai berkali-kali. Membenturkan kepalanya di meja, membanting remote TV sampai hancur, melempar barang-barang, ingin menggigit tangannya dan banyak lagi ulahnya yang ingin berusaha mengakhiri hidupnya. Tapi alhamdulillah, aku mampu menghalanginya sampai temannya datang. 

  Gantungan HP terbuat dari cristal pecah jadi 2. Kata mom belinya 2 sama, yang satu 'sir'. Benda ini selalu gantung di HP mom, tapi sekarang sudah ga ada lagi. Hikz.

Aku bisa agak tenang, trenyuh mendengar tangisannya ketika telpon anak semata wayangnya dan juga bapak kandungnya. "Aku sudah menjadi bagian dari keluarga ini, matipun aku akan tetap jadi keluarga ini. Kalau diminta cerai, lebih baik aku mati". Siapa yang ga ngeri coba???. Sampai akhirnya..... sang suami datang, dan pertengkaran hebat terjadi lagi. Dan aku masuk kamar tak mau tahu urusan mereka. Sayup-sayup masih terdengar pertengkaran hebat.

Mungkin karena kecapean, akhirnya mataku terpejam dan aku tak mendengar apa-apa lagi. Aku terbuai mimpi indahku dan tak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Yang aku tahu, Sir tidur sendiri di kamar anaknya. Sepertinya badai sudah berlalu, badai itu tak mampu merobohkan rumah tangga mereka.

Dan siang tadi, setelah ada SMS dari 'sir' sepertinya sudah bisa berpikir jernih lagi dan sempat telponan sebentar seolah tidak terjadi apa-apa. Disaat seperti itu, mom masih bisa berkata "2 hari ini jangan masak sapi sama telur, 'sir' sakit ga boleh makan". Yang namanya istri bagaimanapun tetap perhatian dengan keadaan suaminya yach. Semoga mereka mampu mempertahankan mahligai rumah tangga yang sudah dibangun hampir 25 tahun itu. Amiiiin



Kalau melihat senyum mereka, rasanya sangat disayangkan kalau harus terjadi perpisahan. "Ngo tei yat kayan ho" kata yang sering beliau ucapkan padaku, yang artinya kita itu satu keluarga. Yach.... aku juga keluarga mereka. Mereka memanggil namaku, tidak pernah menyebut "pembantuku".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar